Kamis, 04 Agustus 2011

AMALAN PUASA RAMADHAN

Oleh
Ustadz Abu Asma Kholid bin Syamhudi
http://almanhaj.or.id/content/3140/slash/0

DEFINISI PUASA
Secara bahasa, puasa (ash shiyam) dalam bahasa Arab artinya menahan
diri, seperti tersebut dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَٰنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنسِيًّا

"Aku telah bernadzar kepada Allah untuk menahan diri (dari
berbicara)".[Maryam : 26].

Adapun secara istilah syar'i ialah, menahan diri dari hal-hal yang
membatalkannya sejak terbit fajar sampai terbenam matahari dengan
disertai niat.

AMALAN-AMALAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN PUASA
1. Niat.
Jika telah masuk bulan Ramadhan, wajib bagi setiap muslim untuk
berniat puasa pada malam harinya, karena Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ لَمْ يُجْمِعْ الصِّيَامَ قَبْلَ اْلفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ

"Barangsiapa yang tidak berniat puasa sebelum fajar, maka tiada
baginya puasa itu". [Riwayat Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, dan Al
Baihaqi, dari Hafshah binti Umar]

Niat itu, tempatnya berada di hati. Sedangkan melafalkannya, termasuk
amal bid'ah. Berniat puasa pada malam hari, ini khusus untuk puasa
wajib saja.

2. Qiyam Ramadhan.
a). Qiyam Ramadhan Disyariatkan Dengan Berjamaah.
Dalam melaksanakan qiyam Ramadhan (shalat tarawih) disyariatkan
berjamaah. Bahkan berjamaah itu lebih utama dibandingkan
mengerjakannya sendirian, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam telah melakukan hal tersebut dan menjelaskan keutamaannya.
Tersebut dalam hadits Abu Dzar:

صُمْنَا مَعَ رَسُولِ الهِd صَلَّى الهُa عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَمَضَانَ
فَلَمْ يُصَلِّ بِنَا حَتَّى بَقِيَ سَبْعٌ مِنْ الشَّهْرِ فَقَامَ بِنَا
حَتَّى ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ ثُمَّ لَمْ يَقُمْ بِنَا فِي
السَّادِسَةِ وَقَامَ بِنَا فِي الْخَامِسَةِ حَتَّى ذَهَبَ شَطْرُ
اللَّيْلِ فَقُلْنَا لَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ نَفَّلْتَنَا
بَقِيَّةَ لَيْلَتِنَا هَذِهِ فَقَالَ إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ
الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ ثُمَّ لَمْ
يُصَلِّ بِنَا حَتَّى بَقِيَ ثَلَاثٌ مِنْ الشَّهْرِ وَصَلَّى بِنَا فِي
الثَّالِثَةِ وَدَعَا أَهْلَهُ وَنِسَاءَهُ فَقَامَ بِنَا حَتَّى
تَخَوَّفْنَا الْفَلَاحَ قُلْتُ لَهُ وَمَا الْفَلَاحُ قَالَ السُّحُورُ

"Kami berpuasa Ramadhan bersama Rasulullah. Beliau tidak mengimami
shalat tarawih kami selama bulan itu, kecuali sampai tinggal tujuh
hari. Saat itu, Beliau mengimami kami (shalat tarawih) sampai berlalu
sepertiga malam. Pada hari keenam (tinggal 6 hari), Beliau tidak
shalat bersama kami. Baru kemudian pada hari kelima (tinggal 5 hari),
Beliau mengimami kami (shalat tarawih) sampai berlalu separoh malam.
Saat itu kami berkata kepada Beliau: 'Wahai Rasulullah. Sudikah engkau
menambah shalat pada malam ini'. Beliau menjawab,'Sesungguhnya jika
seseorang shalat bersama imamnya sampai selesai, niscaya ditulis
baginya pahala shalat satu malam'. Lalu pada malam keempat (tinggal 4
hari), kembali Beliau tidak mengimami shalat kami. Dan pada malam
ketiga (tinggal 3 hari), Beliau kumpulkan keluarga dan istri-istrinya
serta orang-orang, lalu mengimami kami (pada malam tersebut) sampai
kami takut kehilangan kemenangan. Aku (perawi dari Abu Dzar) berkata:
Aku bertanya, Apa kemenangan itu?. Beliau (Abu Dzar) menjawab, Sahur."
[HR At Tirmidzi].

Demikianlah shalat tarawih atau qiyamu ramadhan tidak dilaksanakan
dengan berjamaah pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
dan masa Abu Bakar, sampai pada masa kekhalifahan Umar bin Khaththab.
Rasulullah tidak melakukannya secara berjamaah terus-menerus, sebab
Beliau khawatir hal itu akan diwajibkan atas kaum Muslimin, sehingga
ummatnya tidak mampu mengerjakannya. Disebutkan dalam hadits Aisyah
(dalam Shahihain): "Bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam keluar pada suatu malam, lalu shalat di masjid, dan beberapa
orang ikut shalat bersamanya. Pagi harinya, manusia membicarakan hal
itu. Maka berkumpullah orang lebih banyak dari mereka, lalu
(Rasulullah) shalat dan orang-orang tersebut shalat bersamanya. Pada
keesokan harinya, manusia membicarakan hal itu. Maka pada malam ke
tiga, jama'ah semakin banyak, lalu Rasulullah keluar dan shalat
bersama mereka. Ketika malam ke empat masjid tidak dapat menampung
jama'ah (namun Beliau tidak keluar) sehingga Beliau keluar untuk
shalat Subuh; ketika selesai shalat Subuh, Beliau menghadap jama'ah,
lalu membaca syahadat dan bersabda: Amma ba'du. Aku sudah mengetahui
sikap kalian. Akan tetapi, aku khawatir shalat ini diwajibkan kepada
kalian, lalu kalian tidak mampu melaksanakannya. Lalu (setelah
beberapa waktu) Rasulullah meninggal, dan perkara tersebut tetap dalam
keadaan tidak berjamaah". [HR Al Bukhari dan Muslim].

Jadi, sebab shalat ini tidak dilaksanakan secara berjama'ah
terus-menerus pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
adalah kekhawatiran beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam kalau-kalau
shalat ini diwajibkan atas umatnya. Dan sebab ini telah hilang dengan
wafatnya beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. karena dengan wafatnya
beliau berarti agama ini telah disempurnakan oleh Allah Azza wa Jalla,
tidak mungkin lagi ada penambahan. Dengan demikian, tinggallah hukum
disyariatkannya berjamaah dalam qiyam Ramadhan (baca tarawih) yang hal
itu dihidupkan oleh Umar bin al-Khaththab pada kekhalifaannya.

b). Jumlah Rakaatnya.
Menurut pendapat yang rajih (kuat), qiyam ramadhan dikerjakan 11
rakaat, dan boleh kurang darinya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam tidak menentukan banyaknya maupun panjang bacaannya.

c). Waktunya.
Waktunya dikerjakan dari setelah shalat Isya` sampai munculnya fajar
Subuh. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ اللهَ زَادَ كُمْ صَلاَةً ،وَهِيَ الْوِتْرُ فَصَلُّوْهَا بَيْنَ
صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى صَلاَةِ الْفَجْرِ

"Sesungguhnya Allah telah menambah kalian satu shalat, dan dia adalah
witir, maka shalatlah kalian antara shalat Isya sampai shalat Fajar".
[HR Ahmad dari Abi Bashrah, dan dishahihkan Al Albani dalam Qiyam Ar
Ramadhan, 26].

d). Qunut.
Setelah selesai membaca surat dan sebelum ruku, kadang-kadang
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca qunut, dan boleh
dilakukan setelah ruku.

e). Bacaan Setelah Shalat Witir.

سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُوْسِ سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُوْسِ
سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُوْس

Cara membaca doa ini, yaitu dengan memanjangkan suara dan
meninggikannya pada yang ketiga.

3). Sahur.
Allah mensyariatkan sahur atas kaum Muslimin untuk membedakan puasa
mereka dengan puasa orang-orang sebelum mereka, sebagaimana disabdakan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Abu Sa'id Al
Khudri :

فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ
السَّحُوْرِ رواه مسلم

"Yang membedakan puasa kita dengan puasa ahli kitab adalah makan
sahur". [Riwayat Muslim].

a). Keutamaan Sahur.
• Sahur adalah berkah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّهَا بَرَكَةٌ أَعْطَاكُمُ اللهُ إِيَّاهَا فَلاَ تَدَعُوْهُ رواه
النسائي وأحمد بسند صحيح

"Sesungguhnya sahur adalah berkah yang diberikan Allah kepada kalian,
maka kalian jangan meninggalkannya". [Riwayat An Nasa-i dan Ahmad,
dengan sanad yang shahih].

Sahur sebagai suatu berkah dapat dilihat dengan jelas, karena itu
mengikuti Sunnah dan menguatkan orang berpuasa, serta menambah
semangat untuk menambah puasa. Juga mengandung maksud untuk membedakan
dengan ahli kitab.

• Shalawat dari Allah dan malaikat ditujukan kepada orang yang
bersahur. Dalam hadits Abu Sa'id Al Khudri Radhiyallahu 'anhu, bahwa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

السَّحُوْرُ أَكْلَةُ الْبَرَكَةِ، فَلاَ تَدَعُوْهُ وَلَوْ أَنْ
يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ فَإِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ
يُصَلُّوْنَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِيْنَ رواه ابن أبي شيبة وأحمد

"Sahur adalah makanan berkah, maka kalian jangan tinggalkan, walaupun
salah seorang dari kalian hanya meminum seteguk air, karena Allah dan
para malaikat bershalawat atas orang-orang yang bersahur".[Riwayat
Ibnu Abu Syaibah dan Ahmad].

b). Mengakhirkan Sahur Adalah Sunnah.
Disunnahkan memperlambat sahur sampai mendekati Subuh (Fajar),
sebagaimana disebutkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam
hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu dari Zaid bin Tsabit, ia berkata
:

تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِيْثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ، قُلْتُ:كَمْ
كَانَ بَيْنَ اْلأَذَانِ وَالسُّحُوْرِ؟ قَالَ: قَدْرُ خَمْسِيْنَ آيـة
رواه البخاري ومسلم

"Kami sahur bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian
Beliau pergi untuk shalat. Aku (Ibnu Abbas) bertanya: Berapa lama
antara adzan dengan sahur? Dia menjawab, Sekitar 50 ayat." [Riwayat Al
Bukhari dan Muslim]
.
c). Hukum Sahur.
Sahur merupakan sunnah muakkad (sunnah yang ditekankan). Dalilnya :
• Perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

تَسَحَّرُوْا فَإِنَّ فِيْ السُّحُوْرِ بَرَكَةً رواه البخاري ومسلم

"Bersahurlah, karena dalam sahur terdapat berkah". [Riwayat Al Bukhari
dan Muslim].

• Larangan meninggalkan sahur sebagaimana tersebut dalam hadits Abu
Sa'id yang terdahulu. Oleh karena itu, Al Hafizh Ibnu Hajar dalam
Fathul Bari (3/139) menukilkan ijma tentang sunnahnya sahur.

4. Waktu Puasa.
Waktu puasa dimulai dari terbit fajar Subuh sampai terbenam matahari.
Dalilnya, yaitu firman Allah, yang artinya : "Dan makan dan minumlah
kalian sampai jelas bagi kalian putihnya siang dan hitamnya malam dari
fajar, kemudian sempurnakanlah puasa sampai malam". [Al-Baqarah:186].

Setelah jelas waktu fajar, maka kita menyempurnakan puasa sampai
terbenam matahari, lalu berbuka sebagaimana disebutkan dalam hadits
Umar Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda :

إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَهُنَا وَ أَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ
هَهُنَا وَغَرَبَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ رواه البخاري
ومسلم

"Jika telah datang waktu malam dari arah sini dan pergi waktu siang
dari arah sini serta telah terbenam matahari, maka orang yang berpuasa
telah berbuka". [Riwayat Al Bukhari dan Muslim]

Waktu berbuka tersebut dapat dilihat dengan datangnya awal kegelapan
dari arah timur setelah hilangnya bulatan matahari secara langsung.
Semua itu dapat dilihat dengan mata telanjang, tidak memerlukan alat
teropong untuk mengetahuinya.

5. Perkara-Perkara Yang Membatalkan Puasa.
a). Makan dan minum dengan sengaja. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,
yang artinya : "Dan makan dan minumlah kalian sampai jelas bagi kalian
putihnya siang dan hitamnya malam dari fajar, kemudian sempurnakanlah
puasa sampai malam" [Al-Baqarah:186].
b). Sengaja untuk muntah, atau muntah dengan sengaja.
c). Haid dan nifas.
d). Injeksi yang berisi makanan (infus).
e). Bersetubuh.

6. Perkara-Perkara Lain Yang Harus Ditinggalkan Saat Berpuasa.
a). Berkata bohong. Dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu
bahwa Rasulullah nbersabda:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَ اْلعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ ِلهُِ
حَاجَةً أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَه رواه البخاري

"Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan bohong,
maka Allah tidak butuh dengan usahanya meninggalkan makan dan minum".
[Riwayat Al Bukhari].

b). Berbuat kesia-siaan dan kejahatan (kejelekan). Disebutkan dalam
hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:

لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ اْلأَكْلِ وَالشَّرَابِ إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ
اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ، فَإِنْ سَابَكَ أَحَدٌ أَوْ جَهِلَ عَلَيْكَ
فَقُلْ إِنِّيْ صَائِمٌ إِنِّيْ صَائِمٌ رواه ابن خزيمة والحاكم

"Bukanlah puasa itu (menahan diri) dari makan dan minum, (tetapi)
puasa itu adalah (menahan diri) dari kesia-siaan dan kejelekan, maka
kalau seseorang mencacimu atau berbuat kejelekan kepadamu, maka
katakanlah : Saya sedang puasa. Saya sedang puasa". [Riwayat Ibnu
Khuzaimah dan Al Hakim].

7. Perkara-Perkara Yang Dibolehkan.
a). Orang yang junub sampai datang waktu fajar, sebagaimana disebutkan
dalam hadits Aisyah dan Ummu Salamah, keduanya berkata: "Sesungguhnya
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mendapatkan fajar (Subuh) dalam
keadaan junub dari keluarganya, kemudian mandi dan berpuasa". [Riwayat
Al Bukhari dan Muslim].
b). Bersiwak.
c). Berkumur dan memasukkan air ke hidung ketika berwudhu`.
d). Bersentuhan dan berciuman bagi orang yang berpuasa, dan
dimakruhkan bagi orang-orang yang berusia muda, karena dikhawatirkan
hawa nafsunya bangkit.
e). Injeksi yang bukan berupa makanan.
f). Berbekam.
g). Mencicipi makanan selama tidak masuk ke tenggorokan.
h). Memakai penghitam mata (celak) dan tetes mata.
i). Menyiram kepala dengan air dingin dan mandi.

8. Orang-Orang Yang Dibolehkan Tidak Berpuasa.
a). Musafir (orang yang melakukan perjalanan atau bepergian ke luar
kota). Mereka diberi kemudahan oleh Allah untuk berbuka. Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya : "Dan barangsiapa sakit
atau dalam perjalanan (lalu dia berbuka), maka (wajiblah baginya
berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang
lain". [Al-Baqarah :185]. Mereka diperbolehkan berbuka dan mengqadha
(mengganti) puasanya pada bulan-bulan yang lainnya.

b). Orang yang sakit diperbolehkan berbuka puasa pada bulan Ramadhan
sebagai rahmat dan kemudahan yang Allah limpahkan kepadanya. Orang
Sakit yang dibolehkan untuk berbuka puasa, jika sakit tersebut dapat
membahayakan jiwanya, atau menambah sakitnya yang ditakutkan akan
mengakhirkan atau memperlambat kesembuhannya jika si penderita
berpuasa.

c). Wanita yang sedang haid atau nifas diwajibkan berbuka, maksudnya
tidak boleh berpuasa. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda :

أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَ لَمْ تَصُمْ فَذَلِكَ نُقْصَانُ دِيْنِهَا

"Bukankah kalau dia sedang haid tidak boleh shalat dan tidak boleh
puasa? Maka itulah kekurangan agamanya". [HR Bukhari].

Juga hadits Aisyah ketika beliau ditanya tentang wanita yang mengqadha
puasa dan tidak mengqadha shalatnya:

كَانَ يُصِيْبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ صَوْمِنَا وَلاَ نُؤْمَرُ
بِقَضَاءِ صَلاَتِنَا

"Dulu kamipun mendapatkannya, lalu kami diperintahkan untuk mengqadha
puasa dan tidak diperintahkan mengqadha shalat". [HR Bukhari dan
Muslim].

Berdasarkan ijma' para ulama, maka wanita yang sedang haid atau nifas,
diwajibkan berbuka dan mengqadha puasanya pada bulan-bulan yang lain.

d). Orang yang sudah tua dan lemah, baik laki-laki maupun perempuan
dibolehkan untuk berbuka, sebagaimana dikatakan Ibnu Abbas: "Orang
laki-laki dan perempuan tua yang sudah tidak mampu berpuasa, maka
mereka memberi makan setiap hari seorang miskin". [Riwayat Al Bukhari,
no. 4505].

e). Wanita sedang hamil atau menyusui, yang takut terhadap keselamatan
dirinya dan anak yang dikandungnya atau anak yang disusuinya, juga
termasuk yang mendapat keringanan untuk berbuka. Tidak ada kewajiban
bagi mereka, kecuali fidyah. Demikian ini adalah pendapat Ibnu Abbas
dan Ishaq. Dalilnya ialah firman Allah, yang artinya : Dan wajib bagi
orang-orang yang berat menjalankannya membayar fidyah (jika mereka
tidak puasa), (yaitu) memberi makan seorang miskin. [Al-Baqarah :
184].

Ayat ini dikhususkan bagi orang tua yang sudah lemah, orang sakit yang
tidak kunjung sembuh, orang hamil dan menyusui jika keduanya takut
terhadap keselamatan dirinya atau anaknya. Karena ayat di atas telah
dinasakh oleh ayat yang lain, sebagaimana disebutkan dalam hadits
Abdulah bin Umar dan Salamah bin Al Akwa':

كُنَّا فِيْ رَمَضَانَ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ مَنْ شَاءَ صَامَ
وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ فَافْتَدَى بِطَعَامِ مِسْكِيْنِ
حَتَّى نَزَلَتْ هَذِهِ الأَيَةُ : فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْ.

"Kami dahulu pada bulan Ramadlan dimasa Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam yang mau berpuasa, boleh dan yang tidak bepuasa juga boleh,
tapi memberikan makan kepada satu orang miskin, sampai turun ayat
(yang artinya) "Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) pada bulan itu, maka hendaklah dia berpuasa pada bulan
itu, -QS Al Baqarah ayat 185-
,
Akan tetapi Ibnu Abbas berpendapat, bahwa ayat tersebut tidak dinasakh
(dihapus). Ayat ini khusus bagi orang-orang tua yang tidak mampu
berpuasa, dan mereka boleh memberi makan satu orang miskin setiap
hari. (Lihat perkataannya yang diriwayatkan Ibnul Jarut, Baihaqi dan
Abu Dawud dengan sanad shahih). Pendapat ini dikuatkan juga oleh
hadits Mu'adz bin Jabal, ia berkata:

فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ
يَصُومُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَيَصُومُ يَوْمَ
عَاشُورَاءَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى كُتِبَ عَلَيْكُمْ الصِّيَامُ
كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِلَى قَوْلِهِ طَعَامُ
مِسْكِينٍ فَمَنْ شَاءَ أَنْ يَصُومَ صَامَ وَمَنْ شَاءَ أَنْ يُفْطِرَ
وَيُطْعِمَ كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِينًا أَجْزَأَهُ ذَلِكَ وَهَذَا حَوْلٌ
فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ
الْقُرْآنُ إِلَى أَيَّامٍ أُخَرَ فَثَبَتَ الصِّيَامُ عَلَى مَنْ شَهِدَ
الشَّهْرَ وَعَلَى الْمُسَافِرِ أَنْ يَقْضِيَ وَثَبَتَ الطَّعَامُ
لِلشَّيْخِ الْكَبِيرِ وَالْعَجُوزِ اللَّذَيْنِ لَا يَسْتَطِيعَانِ
الصَّوْمَ

"Sesungguhnya Rasulullah setelah datang ke Madinah memulai puasa tiga
hari setiap bulan dan puasa hari Asyura, kemudian Allah turunkan
firmanNya " Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas
kelian berpuasa..." sampai pada firmanNya "...memberi makan.". Ketika
itu, siapa yang ingin berpuasa, dia berpuasa. Dan yang ingin berbuka
(tidak puasa), bisa menggantinya dengan memberi makan satu orang
miskin. Ini selama satu tahun. Kemudian Allah menurunkan lagi ayat
yang lain "Bulan Ramadhan yang diturunkan padanya Al Qur'an ..."
sampai pada firmanNya "..di hari yang lain ..". Maka puasa tetap wajib
bagi orang yang mukim (tidak safar) pada bulan tersebut, dan bagi
musafir wajib mengqadha puasanya, dan menetapkan pemberian makanan
bagi orang-orang tua yang tidak mampu untuk berpuasa ... . " [HR Abu
Dawud, Baihaqi dan Ahmad].

Pendapat ini dirajihkan oleh Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid dan
Salim Al Hilali dalam Shifat Shaum Nabi, lihat halaman 80-84.

9. Berbuka Puasa.
a). Mempercepat waktu berbuka puasa. Termasuk sunnah dalam puasa,
yaitu mempercepat waktu berbuka. Sebagaimana dikatakan oleh Amr bin
Maimun Al Audi, bahwa sahabat-sahabat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa
sallam adalah orang-orang yang paling cepat berbuka dan paling lambat
sahurnya. [Diriwayatkan oleh Abdurrazaq dalam Al Mushannaf, no. 7591
dengan sanad yang dishahihkan Ibnu Hajar dalam Fathul Bary, 4/199].

Manfaat dari mempercepat berbuka ialah :

• Untuk mendapatkan kebaikan. Disebutkan dalam hadits yang
diriwayatkan Sahl bin Sa'ad Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوْا اْلفِطْرَ رواه البخاري ومسلم

"Manusia akan senantiasa dalam kebaikan selama mereka mempercepat buka
puasanya.". [Riwayat Al Bukhari dan Muslim].

• Merupakan Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
• Untuk membedakan dengan puasa ahli kitab, sebagaimana disebutkan
dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

لاَ يَزَالُ الدِّيْنُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الْفِطْرَ، لأَنَّ
الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى يُؤَخِّرُوْنَهُ رواه أبو داود وابن حبان بسند
حسن

"Agama ini akan senantiasa menang selama manusia (kaum Muslimin)
mempercepat buka puasanya, karena orang-orang Yahudi dan Nashrani
mengakhirkannya". [Riwayat Abu Dawud dan Ibnu Hibban dengan sanad
hasan].

Dan berbuka puasa dilakukan sebelum shalat Maghrib, karena merupakan
akhlak para nabi.

b). Makanan Berbuka.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menganjurkan kita untuk
berbuka dengan kurma, dan kalau tidak ada, maka dengan air sebagaimana
dikatakan Anas bin Malik: "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
berbuka dengan ruthab sebelum shalat, kalau tidak ada ruthab, maka
dengan kurma, dan kalau tidak ada kurma, Beliau menghirup (meminum)
beberapa teguk air". [HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah dengan
sanad yang shahih]. Ini merupakan kesempurnaan kasih sayang dan
perhatian Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap umatnya.

c). Bacaan Ketika Berbuka.
Berdoa ketika berbuka termasuk dari doa-doa yang mustajab, sebagaimana
disabdakan Rasulllah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٍ دَعْوَةُ الصَّائِمِ وَ دَعْوَةُ
الْمَظْلُوْمِ وَ دَعْوَةُ الْمُسَافِرِ

"Ada tiga doa yang mustajab, (yaitu): doanya orang yang berpuasa,
doanya orang yang terzhalimi dan doanya para musafir". [HR Al Uqaili].

Sebaiknya berdoa dengan doa:

ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوْقُ وَ ثَبَتََ الأَجْرُ إِنْ شَاءَاللهُ

"Mudah-mudahan hilang dahaga, basah otot-otot dan mendapat pahala, insya Allah".

d). Memberi Makan Kepada Orang Yang Berpuasa.
Hendaknya orang yang berpuasa menambah pahala puasanya dengan memberi
makan orang yang berbuka puasa. Orang yang melakukannya akan
mendapatkan pahala yang sangat besar. Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda :

مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرُ أَنَّهُ لاَ
يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا

"Barangsiapa yang memberi buka puasa orang yang berpuasa, maka dia
mendapat (pahala) seperti pahalanya (orang yang berbuka itu) tanpa
mengurang sedikitpun pahala orang yang berpuasa tersebut". [HR Ahmad
dan At Tirmidzi]

10. Adab Orang Yang Berpuasa.
a). Memperlambat sahur.
b). Mempercepat berbuka puasa.
c). Berdoa ketika berpuasa dan ketika berbuka.
d). Menahan diri dari perkara-perkara yang merusak puasa.
e). Bersiwak.
f). Memperbanyak berinfak dan tadarus Al Qur`an.
g). Bersungguh-sungguh dalam beribadah, khususnya pada sepuluh hari terakhir.

Demikianlah beberapa hal yang berkaitan dengan ibadah puasa yang
kamisampaikan secara singkat. Mudah-mudahan bermanfaat.

Maraji` :
1. Shifat Shaum Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam, oleh Salim Al
Hilali dan Ali Hasan.
2. Fatawa Ramadhan.
3. Majmu' Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
4. Qiyam Ar Ramadhan, Syaikh Muhammad Nashruddin Al Albani.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi, 06/Tahun IX/1426/2005M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Walgreens Printable Coupons